Gak berasa ya, udah 10 bulan nggak nulis blog ini. Gue cukup sering menelantarkan blog ini. Salah satu hal yang bikin gue males nulis adalah kalau gue ngepost biasanya panjang... haha. Tapi malam ini, gue sangat ingin mencurahkan apa yang selama 10 bulan ini tertahan di bibir, akhirnya mengendap dan membeku di otak.
Mind my heavy words. People change.
Jadi, selama 10 bulan ini gue menjalani kehidupan kuliah gue di Fakultas Kedokteran Universitas Padjadjaran. Sekarang, alhamdulillah gue udah dinyatakan lulus tahun pertama dan
eligible untuk naik ke tahun 2.
Anyway, sistem pembelajaran di FK ini gak jauh beda sama sekolah,
that's why I realized why people call this faculty as medical school, not medical college.
So, what have you been missing? Well, kasarnya, lo boleh bilang gue udah beranjak tua, atau dewasa, entahlah bahasa mana yang tepat. Sampai sekarang toh gue masih belum menemukan definisi dewasa. Suatu kali gue sempet mikir, apakah dewasa itu adalah ketika lo udah menemukan jati diri lo? Kita soalnya sering bilang, masa remaja adalah masa transisi. Masa pencarian jati diri. Lalu, apakah orang dewasa sudah "dewasa"? Apakah orang dewasa sudah menemukan jati dirinya? Apakah gue sudah menemukan jati diri gue? Entah.
Sepanjang perjalanan masa kuliah gue yang kebanyakan dihabiskan jauh dari rumah dan keluarga, otomatis gue jadi lebih sering mikir tentang diri gue sendiri. Gue menyadari banyak sifat yang gue gak sadari selama ini, entah dari perenungan atau dari ucapan orang lain. Gue juga sedikit banyak mulai membuka sifat-sifat gue ke orang-orang terdekat gue. Mereka dapat menyimpulkan dari cerita gue. Atau gue yang menyimpulkan sendiri.
Gue mulai mau mengenal diri gue saat masuk kuliah. Maba kayak gue dan teman-teman lain disuruh oleh kakak kelas kami untuk menjawab pertanyaan kepribadian gitu. Hasil punya gue, ENTJ (ESTJ pas gue tes ulang) dan enneagram tipe 9 (
Relax). Pas baru banget pacaran sama kakak kelas gue, I call him KaKres, dia cerita kalau mamanya itu sanguinis sejati, terus nurun ke dia. Gue tau itu apa, tapi gak pernah tes.
I tested mine, hasilnya plegmatis-melankolis.
Yeah, that pretty much describe me.
ESTJ tuh apa?
Extrovert-Sensing-Thinking-Judging.
Extrovert itu artinya adalah tipe orang yang cenderung "keluar", senang bersosialisasi, cenderung mengeluarkan apa yang dipikirkan, itu sih yang gue tangkep selama ini.
Well, I must say kalau sebenernya gue punya sisi yang
mix disini. Gue pemalu, gue cuma bisa
open sama orang yang deket sama gue aja, dan sebenernya
I don't make many friends. Gue lebih banyak punya temen sekedar "
say hi" dibanding sahabat. Selama 17 tahun hidup gue, gue paling banyak cuma punya 4-5 orang sahabat. Sekarang sih, pacar gue bisa gue anggap sahabat terbaik gue juga, karena biasanya setiap ada masalah gue pasti cerita ke dia. Gue juga sedikit banyak cerita tentang masa lalu gue. Di satu sisi kadang gue lebih suka sendiri dan males ketemu orang, bahkan sahabat gue sendiri.
So, I call myself as an ambiverted person. Lagian, hasil presentase di alat tes itu proporsi intro-extrovert gue gak jauh beda.
Sensing adalah orang yang fokus di masa kini. Pikirannya konkrit. Hem, gue juga merasa
mix disini, makanya waktu gue tes ulang hasilnya berubah. Awalnya gue dapet ENTJ, terus berubah jadi ESTJ sampe sekarang. Jadi gimana ya. Gue realistis. Gue gak suka berkhayal. Gue jarang berkhayal atau bermimpi. Di satu sisi, gue juga suka bayangin masa depan. Ya, sebenernya gue gatau apakah ini namanya berkhayal masa depan atau merencanakan masa depan. Pokoknya, gue nikah paling tua umur 27, idealnya 25, sebelum itu gue harus udah jadi dokter dan kerja, abis itu naik hajiin nyokap gue dulu, baru nikah. Gue harus punya suami yang mau ngebiayain keluarga gue, terutama pendidikan adik-adik gue. (
I write this because I had ever had a relationship with a boy who didn't want to feed his mom anymore when he's married. Biayain emaknya sendiri aja gak mau, gimana biayain keluarga istrinya. Tambah ogah.) Dan setiap pacaran, biasanya gue selalu nanya, "Nanti kalau begini, gimana? Kalau kita begini nanti gimana?"
Thinking adalah orang yang kasarnya mikir pake otak, bukan pake hati ketika ngadepin masalah.
Pretty much true, soalnya biasanya gue lebih suka melogikakan semua masalah gue. Satu-satunya sisi
feeling gue adalah ketika gue gak enak sama seseorang,
that contributes to my other "too kind" doings. Kata orang, gue terlalu baik. Tapi, gue tetep bilang gue adalah seorang
thinker, karena gue kenal orang yang sangat
feeling. Pas dia dijahatin cowoknya, gue bilangin hal-hal yang mestinya gak usah dipeduliin lagi, tapi karena sayang katanya, jadi dia tetep lakuin ke cowoknya.
Well, ujungnya gue jadi gregetan sendiri sama tuh orang, dan akhirnya pengen ngomong, "Mikir pake otak dong, sekali-kali."
Thinker mungkin dibilang ga punya hati. Tapi disaat harga diri lo diinjek, masa masih pengen pake hati yang pada dasarnya lembut sekali itu, sih? Egois memang, yah namanya juga
self defense.
Judging adalah orang yang terstruktur dalam jadwal. Nah, ini hal yang paling gue sering ceritain ke orang lain. Gue selalu mem
planning apapun dalam suatu hari; jam segini mau apa, jam segono mau apa. Memang jarang terlaksana sih, tapi
at least gue ada
guideline sendiri hari ini mau apa. Gak spontan tiba-tiba pengen ini terus lakuin. Pada dasarnya, gue moody dan pemalas. Itu alasan kenapa gue lebih sering ngacauin jadwal "jam segini"-nya otak gue. Gak peduli,
at least gue ada tujuan sebelumnya. Bergaul dengan orang
perceiving (lawannya
judging) kayak salah seorang sahabat gue dan pacar gue sendiri, bikin gue jadi makin kacau dalam menepati otak gue. Mestinya sih gak nyalahin, tapi tetep aja jadi salah satu alasan.
Tipe 9 adalah tipe orang yang mengutamakan santai. Gue sangat seperti itu. Gue pemalas dan sangat suka tidur. Gue lamban dari kecil, sampai almarhum bokap gue selalu manggil gue "Pooh" karena gue lamban, gemuk, dan tukang makan-tidur. Sekarang yang manggil gue "Pooh" nambah. Kayaknya semua sadar kalau gue sangat cinta tidur dan kemageran gue. Belakangan, karena gue kuliah di tempat yang gak boleh istirahat (
sleep is for the weak, my friends say) gue mengutuki kemageran gue selama setengah semester karena gue males belajar dan akhirnya nyesel sendiri pas ujian. Belajarnya jadi gila-gilaan dan sedikit ambisius sama nilai. Itu
naturenya gue kayaknya sih, tapi gue juga kenal orang yang lebih selow lagi dari gue. Ujian gak belajar, remed pun selow, dan gak peduli nilai. Gue jadi mulai meragukan kesantaian gue.
Plegmatis-melankolis tuh gabungan 2 kepribadian gitu. Memang ada kombinasinya kok, bukannya gue punya
mixed personality or even double personalities gitu. Plegmatis itu adalah golongan orang cinta damai. Ini gue banget. Gue paling benci sama orang tukang marah-marah. Gue benci orang teriak-teriak. Gue bahkan gak suka sama orang yang ngomong nadanya tinggi. Melankolis tuh
highlightnya perfeksionis. Yap, belakangan gue makin sadar kalau gue adalah orang yang sangat perfeksionis, karena gue punya standar sendiri. Tapi, gue bukan orang yang sangat ambisius juga dalam mengejar kesempurnaan. Gue tau, ga ada yang sempurna, dan gue tau gimana caranya biar gak stres menghadapi ketidaksempurnaan. Di salah satu postingan blog gue, udah tua, entah gue nulis itu pas kapan, gue bilang kalau gue cinta ketidaksempurnaan gue. Ya, benar. Benar sekali.
Beberapa fase di kehidupan gue udah terlewati, sekarang usia gue akhirnya menginjak 17 tahun. Waktu usia gue masih 8 tahun-an, gue sangat berandai-andai menjadi remaja berusia 17 tahun.
Sweet seventeen, katanya sih. Yah,
pretty sweet. Gue ketemu sama beberapa kejadian dan orang yang mampu membuka mata gue pada kehidupan. Belakangan juga gue sadar kalau gue terlalu polos. Ah, gue lebih suka jadi orang polos. Kayaknya lebih bersyukur dengan kepolosannya, yang bisa dibilang gak tau apa-apa. Tapi tetep, orang polos butuh seseorang yang kurang lebih udah tau busuknya hidup. Supaya gak dibilang bodoh.
Mungkin selama gue 5 tahun nyaris 6 tahun ngeblog di blog ini, gue belom pernah membuka siapa gue sebenernya. Siapa Tashiani Candra si pemilik tulisan dangkal ini. Siapa gue yang pernah ngabisin berapa bulan hidupnya buat ngutukin orang dan marah-marah sama kehidupan, buah pemberontakan pikiran.
Mungkin gue udah kehilangan kemampuan gue untuk nulis pengalaman hidup dengan cara yang lucu.
But life isn't stop at one point, you have to move on. Mungkin guenya yang mulai beranjak besar. :)