Bohong.
Lately I've been cheated. I've been lied all the time.
Bohong itu apa? Menurut KBBI sih,
tidak sesuai dengan hal (keadaan dan sebagainya) yang sebenarnya.
Kita semua ga akan pernah bersih dari kebohongan. Kita emang gak diprogram buat berkata jujur sepanjang waktu kayak Nabi. We are not that saint, and apparently, kita butuh berbohong untuk hidup, karena kita hidup nggak sendiri. Ya, sepanjang pengamatan gue, berbohong adalah salah satu kunci esensial untuk menjaga hubungan sosial. Gue memang bukan orang yang terlalu memerdulikan hubungan sosial, but well, I do need social interactions. At least dengan orang yang gue sayangi (it's hard to get my heart on!).
Kalau sesuatu hal nggak sesuai dengan fakta, kita biasanya bingung menghadapinya. Karena bingung jadi kita definisikan sebagai salah, because it's simply doesn't real. So, ya, morally, lying is a mistake. Tapi kenapa orang tetap berbohong? Banyak lah. Salah satunya yang udah gue singgung di paragraf sebelumnya. (Yes, I can't make a nice coherent paragraph.)
Apakah alasan untuk berbohong dapat menjustifikasi kesalahan? Tidak, sudah jelas. Bahkan, banyak orang juga yang menjawab "gak tahu" ketika dia berbohong. Jawaban "gak tahu" kayak begini kan, bikin orang naik darah. Well, apapun alasannya, orang gak suka dibohongi, karena semua orang gue yakin punya standar moral yang sama dalam hal ini, hanya tingkat toleransinya yang berbeda.
Gue adalah orang yang sangat meminimalisir kebohongan. Gue gak bisa 100% bebas bohong. Bohong kan, banyak bentuknya. Bisa bohong verbal, bisa juga bohong perasaan. Gue suka melontarkan white lies, untuk menghindari masalah. White lies ini udah gue proses dengan sangat baik sehingga menghindari masalah yang spesifik namun trivial saja, gak menghindari seluruh permasalahannya. Gue gak pernah punya nilai moral yang menyuruh gue untuk menghindar dari masalah. Intinya, di saat gue harus jujur, gue akan jujur. (Bahkan orang bilang gue terlalu jujur di banyak hal.)
Balik ke hubungan sosial. Orang itu macam-macam, dan gue ngerti bahwa gue gak bisa expect orang lain untuk berperilaku, bernilai moral, dan berpikir seperti gue. Kalau gue kayak gitu, gue bakal terus ngerasa sombong karena standarnya adalah gue. I accept differences. Walaupun kita harus tau cara menghadapi orang yang mungkin moralnya bertentangan dengan lo.
Ini mungkin tulisan yang self-centered banget sih. Tapi balik lagi ke diri gue. Gue sebenernya lenient sama perbedaan values, tapi ternyata gue gak terima ketika itu ada pada inner circle gue. When I love someone, I incorporate them as my own body, and love them as I love myself (ngeri ya). Yes, when I love someone, I love deeply. Jadinya, gue kadang berekspektasi mereka bisa sama dengan gue. I know it's stupid, tapi kalau gue punya good qualities, kenapa gak berharap orang yang lo sayang juga ikutan baik? Jadi, gue sangat tidak menoleransi kebohongan dalam hubungan inner circle gue, karena gue sendiri juga berusaha tidak berbohong.
Recently, I've been lied by a person in my inner circle. Alasannya? Takut dimarahi. Lucunya, dia bahkan sering banget bohongi gue karena alasan ini, dan gak pernah ada bukti konkret yang menunjukkan bahwa gue marah saat dia berkata jujur. Gue beda dengan dia; gue realis dia surealis. Mungkin, gue jauh lebih bisa menghadapi kenyataan daripada dia, yang kerjanya selalu kabur dari kenyataan (dan menciptakan masalah baru di dunia nyata). Tapi, itu bukan justifikasi. Bodohnya adalah ketika gue mulai mengalami disonansi kognitif hebat. Gue sayang sama orang ini, tapi dia salah. Memaafkan adalah hal yang mudah, tapi apa yang harus gue lakukan supaya dia nggak bohong lagi? Gue terlalu mengerti orang ini. Pengertian gue terhadap orang ini dijadikan pembelaan gue. Di satu sisi, gue sakit hati, kecewa, dan berteriak bahwa ini salah besar.
Gue sebenarnya siap dan sudah tau kalau gue akan dibohongi. Bodohnya gue di masa lalu, adalah tidak memikirkan apa yang harus gue lakukan ketika memang benar gue dibohongi. Gue tipe orang yang gak suka basa-basi dan lebih suka mendengar fakta buruk daripada harus dipermanis dengan embel-embel. (Gombalan biasanya cuma numpang lewat, bahkan gak masuk, kepala gue.) Karena, ya itu lah kenyataan dan harus dihadapi, sooner or later. Mau kabur juga ke mana. Tuhan kasih kita masalah supaya otak kita dipakai (otak ini adalah logika dan hati ya. Hati gak ada di dada). Jadi, masalah dan kenyataan ya harus dihadapi. Gak perlu lah pake bohong untuk nyaman sesaat tapi jadi besar di kemudian hari.
Oh, ya. Bagi gue, menyembunyikan sesuatu di belakang seseorang juga termasuk berbohong. Karena kita pasti akan berbohong untuk menutupi kenyataan tersebut kan?
Oke, balik ke bahasan. Jadi seseorang ini berbohong karena dia takut gue marah; tapi dia gak pernah jujur juga ke gue selama ini dengan alasan yang sama, jadi dia gak tau juga apakah gue akan marah apa nggak. Kan bodoh ya. Gue bilang, gue lebih suka jujur tapi pahit daripada dibohongi. Dibohongi tuh kayak dikasih tiket masuk gratis yang ada obat biusnya, masuk ke dunia gak nyata. Bangun-bangun, lo bingung ada di mana. Makanya kita suka bingung kan, mana yang nyata mana yang nggak. Ternyata, tiket berbius itu, adalah kepercayaan.
Kita berhubungan itu dasarnya kepercayaan, menurut gue. Hubungan apapun, bahkan jual beli sekalipun (dengan asumsi kita gak kenal satu sama lain). Gue bukan orang komunikasi sih, tapi rasanya hal ini bisa dinalar ya. Hubungan dokter-pasien juga basisnya kepercayaan. Kepercayaan ini bisa jadi pedang bermata dua; kalau dimanfaatkan dengan baik akan membawa kebaikan dan vice versa. Sayangnya, yang kebalikannya itu, sakit banget kalau kena. Kalau disambungin sama analogi di paragraf sebelumnya, pas kita sampai di dunia antah berantah itu, tiket itu udah nggak ada. Padahal, tiket itu salah satu kunci kita buat tetap berhubungan dengan dunia nyata. Apa yang akan kita lakukan? Pertama, pasti kita pengin pulang dan berusaha mencari tiket untuk pulang, tapi rasanya susah didapatkan karena cuma satu-satunya. Kita bingung; mau menolak tapi udah terlanjur di dunia baru, tapi mau hidup normal juga rasanya salah. Kita marah, kecewa, sakit hati, dan mengutuk dunia baru itu. Tapi, lama kelamaan kita sadar kalau dengan emosi, kita gak akan bisa pulang. Jadi, langkah kedua, adalah menjalani hidup di dunia baru itu, dan mencoba membuat tiket yang baru untuk pulang. Caranya dengan mulai berpikir bahwa dunia antah berantah itu adalah dunia
nyata kita, padahal mungkin yang kita lihat di dunia baru itu sama
sekali beda dengan yang dunia biasa.
Analogi di atas bukan untuk menjustifikasi kebohongan, tapi itu cara gue untuk menghadapi kebohongan. Kebohongan itu udah terjadi; tiket kita udah digadaikan, terus mau diapain? Ya, orang yang bohong salah. Not necessarily salah kita (gue sih dalam kasus ini) dia berbohong. Tapi, ya masa gue harus marah terus? Waktu gue tahu gue terjebak di dunia kebohongan, gue gak marah sama sekali. Gue gak nangis, gue gak teriak, gue gak mengutuk. Gue dengan santainya nanya kenapa dia berbohong. Kenapa dia menggadaikan tiket gue ke dunia nyata. Dengan alasan bodoh pun, gue gak boleh marah. Harusnya nggak marah. Gue perlahan-lahan mulai menganalisis kenapa dia begitu, dan berusaha memahami posisinya. (Tapi apa dia pernah mikirin perasaan gue yang dibohongi? Entahlah.)
Terus gue mulai berontak. Kenapa cuma gue yang harus menghadapi ini? Kenapa gue sendirian? Kenapa cuma gue yang harus ngerti perasaannya dia? Kenapa dia gak mikirin perasaan gue? Kenapa hal ini harus terjadi? Apa yang mesti gue lakukan? Saat bertanya pertanyaan terakhir ini, otak gue langsung meng-list pro dan kontra tindakan yang harus gue ambil. Kebetulan gue orangnya kurang bisa mengambil keputusan, jadi gue bingung lama, tertegun memandangi list yang gue udah buat sendiri.
Prinsip gue adalah mengambil pilihan yang lebih banyak pro nya (rasanya semua orang juga begitu, ya). Gue terlalu sayang sama orang ini. Gue udah maafin kebohongan itu dari awal gue tau. Gue gak siap kalau gue harus mengganti dia, soalnya sama aja kayak mengganti bagian dari diri gue. Jadi yang gue lakukan adalah membiarkan semuanya terjadi. Gue maafin, gue tetap berhubungan baik dengan orang itu, sambil tetap berhati-hati seandainya dia melakukan hal yang sama. Rasanya, kalau dia melakukan hal yang sama lagi, gue harus gak ragu untuk membuang bagian yang busuk itu dari tubuh gue. Karena sekarang, bentuk dia udah nggak sama lagi di tubuh gue. Ada sesuatu yang bolong; kepercayaan.
(Maaf kalau isinya gak jelas. Cuma pengin curhat aja, tapi gak ngerti cara nyampeinnya gimana.)