Waktu cepet banget berlalu. Gila. Gue nulis blog ini tahun 2007 akhir, anggaplah usia 12 tahun. Sekarang usia gue udah 21 tahun. Gue suka ketawa-tawa sendiri baca postingan lama gue, bahkan sering gak inget kalo gue pernah mengalami hal tersebut. Gue juga inget gue masih punya banyak banget utang cerita yang gak gue tepatin terus sampe sekarang hahaha.
Well, that's not the point. Angka 21 bukan inti dari postingan ini. Gue merasa ingin ngepost ini karena gue ingin menumpahkan isi pikiran gue sebagai manusia berusia 21 tahun yang rasanya mulai dipenuhi pikiran-pikiran terlalu visioner yang bikin takut.
Sebagai cewek usia 21 tahun, koas tahun akhir yang 3 stase lagi lulus dan jadi dokter (aamiin!), gue mulai ditanyain pertanyaan-pertanyaan yang..... dewasa. Maksudnya, gue gak pernah mikirin itu sebelumnya dengan matang, tapi sekarang gue dipaksa untuk berpikir demikian karena gue beraktivitas dengan orang-orang yang lebih tua beberapa tahun dari gue (bahkan teman seangkatan gue pun lebih tua 2 tahun dari gue kan, 2 tahun itu ngaruh banget loh..). Pertanyaannya adalah tentang pernikahan.
Untuk seorang Tashiani Candra yang sampe sekarang masih mikir kalo anak SMA itu udah tua (bahkan sekarang gue udah 5 tahun lulus dari SMA), pernikahan itu terlalu jauh untuk dipikirin. Sebenernya dari dulu gue bukannya gak mikirin, tapi gue gak punya rencana detil pada pernikahan gue sampe akhirnya sekarang gue dipaksa untuk merencanakan matang-matang bagaimana pernikahan seharusnya.
Oke. Pandangan gue terhadap pernikahan sangatlah simpel: harus monogami dan sampe mati. Kalo pasangan gue meninggal duluan, gue pun gak akan menikah lagi. Itu prinsip yang masih gue pegang sampai sekarang. Tapi...... euh. Karena lebih lama hidup di dunia dan informasi pun banyak yang masuk, gue makin ngerasa prinsip kayak gitu agak... mustahil di dunia sekarang. Entah dunia mana yang gue lihat, atau gue kurang mengumpulkan banyak "dunia", yang gue lihat dari pernikahan gak kayak gitu. Pahit. Entah kenapa kesan gue terhadap pernikahan itu sendiri pahit. Kenapa? Karena tidak sesuai dengan pandangan awal gue terhadap pernikahan yang mestinya yaudah, lurus-lurus aja sampe mati. Dan semua kenyataan itu mengubah pandangan gue:
Gue takut sama pernikahan.
Alasannya?
Pertama, pada kenyataannya,
people cheat.
Fidelity itu hanya omong kosong. Mereka janji di depan wali/pendeta/apapun untuk yah intinya mempertahankan kesucian pernikahan dan memperlakukan pasangannya dengan baik tapi apa buktinya? Berkhianat. Kisah kakek nenek yang unyu-unyu yang biasa dilihat di artikel-artikel menye itu hanyalah sepersekian dari jumlah pernikahan di seluruh dunia ini. Buktinya, angka perceraian naik loh. Dan gak jarang karena orang ketiga.
Kenapa masalah perselingkuhan jadi alasan pertama gue? Karena gue adalah cewek yang selalu diselingkuhin. Udah ga keitung lah. Hampir tiap mantan
(dan hampir mantan) gue selingkuhin gue. Gue sampai sekarang gak pernah ngerti kenapa mereka nyelingkuhin gue. Apakah gue kurang menarik? Apakah gue semembosankan itu? Apakah gue tidak layak untuk diperjuangkan? Gue kurang apa? Gue kurang baik? Gue tau, gue emang gak cantik, gak kurus, gak pinter, dan gak menarik, tapi menurut gue gak ada seorang pun yang layak untuk diselingkuhi. Itu hanyalah bentuk inkonsistensi prinsip. Ketika kita udah memilih seseorang buat menjalani suatu komitmen bareng, terpaksa ataupun tidak, ya tepatin lah. Itu udah konsekuensi. Daripada nyakitin orang lain dengan inkonsistensi kita sendiri, lebih baik pisah karena lebih baik untuk kitanya dan pasangan kita. Yaudah, kalau dirasa emang pasangan kita kurang cukup sebenarnya sah-sah aja cari yang lain, tapi selingkuh bukan jalan keluar. Putusin dulu, baru cari yang lain. Jangan cuma karena pengin cadangan aja; kalo ga dapet pasangan baru ya masih ada yang lama yang jelas masih
care. Itu kurang ajar.
Gue di sini gak bisa ngomongin yang masalah pernikahan, cuma menurut gue pernikahan lebih mengikat lo untuk tidak selingkuh dan tidak main putus dan cari yang lain kayak pacaran. Ya memang telen aja, udah nasib. Mau gimana lagi. Mau cari yang kayak apa lagi sih? Gak tau sih ya, mungkin gue bisa ngomong gini karena gue belum pernah ngerasain di posisi seperti itu dan gue juga cenderung berpikir kalo apapun yang Tuhan gariskan untuk gue itu yang terbaik, mau sepahit apapun itu.
Kedua, gue takut harus berurusan dengan keluarga pasangan. Gue takut keluarga pasangan gue dan keluarga gue
clash, sehingga memengaruhi hubungan gue dengan suami gue. Masalahnya, pernikahan itu bukan sekedar menyatukan dua insan, tapi menyatukan dua keluarga yang antah berantah menjadi 1 keluarga besar. Cocok gak cocok, dia harus jadi keluarga. Dan masalah pasti gak terhindarkan sih dan bukan gak mungkin memengaruhi hubungan gue dan suami gue. Gue gak tau harus gimana caranya deketin keluarga pasangan juga supaya mereka suka dan nyaman dengan gue dan diterima jadi keluarga mereka. Gue juga mungkin gak bisa jadi penengah di tengah konflik keluarga yang baik karena gue sangat plegmatis dan pasif. Gue juga gak bisa ngelobi orang untuk mendinginkan kepala seseorang. Intinya gue merasa belum (atau tidak) kapabel untuk berurusan dengan keluarga pasangan.
Ketiga, gue takut punya anak. Gue ngerasa belum pantas untuk mendidik anak karena mendidik anak itu gak seenak membuatnya (kata orang buatnya sih enak, entahlah?). Gue sangat takut anak gue akan tumbuh dengan semua kejelekan gue sekarang. Gue juga takut gue gak bisa dekat secara emosional dengan anak-anak gue karena pada dasarnya gue adalah orang yang tidak afektif dan tidak peka (Te-Fi selalu mengutamakan efisiensi dan selalu nyimpen perasaan untuk sendiri, gak bisa nunjukin perasaan). Gue ingin sekali punya keluarga kecil yang akrab dan hangat, tapi gue tau gue gak bisa memberikan kehangatan itu, sedangkan peran ibu sangatlah krusial di perkembangan anak dan pembangunan emosi di keluarga. Gue bisa aja cari suami yang hangat dan perhatian, tapi kalo gue tidak perhatian, sama aja. Peran gue sebagai ibu yang memberikan rasa hangat gagal.
Gue juga sangat takut anak gue salah didik. Gue lihat kenyataan sekarang di mana anak TK-SD aja udah berani ngerokok, pacaran, dan lain-lain. Gue bingung gue harus menetapkan aturan seperti apa secara detil sehingga anak gue tidak terjerumus hal-hal negatif. Gue bingung gue harus setegas apa dalam menegakkan aturan
—jawaban "jangan terlalu tegas, jangan terlalu manjain" itu bukan jawaban yang gue mau, gue butuh aturan pasti dan contoh pasti seberapa tegasnya. Gue sebenarnya ingin anak gue tidak merasakan apa yang gue rasakan tapi gue gak tau harus gimana. Karena, kecenderungan untuk mengulang hal yang sama itu sangat mungkin (karena kita ada kecenderungan meniru gaya orang tua mengajar kita—sampe katanya "udah sifat turunan"—meh) dan akhirnya lingkaran setan tidak berhenti.
Keempat, gue belum siap membagi diri gue dengan suami. Gue ngerasa buat hidup diri gue sendiri aja udah susah dan masih keteteran sana sini, ini lagi gue harus ngurusin hidup orang yang gaya hidupnya sama sekali berbeda dengan gue. Gue ngerasa gue mesti bisa ngurus diri sendiri dulu baru bisa ngurus orang lain. Gue juga merasa masih sulit berbagi sama orang lain. Karena pada dasarnya gue adalah orang yang sangat tertutup, gue takut gue gak bisa sharing ke suami karena gue cenderung simpan semuanya sendiri, yang nantinya bisa jadi potensi masalah besar di kedepannya (sekarang aja udah ada kejadiannya kok).
Urutan di atas semuanya berdasarkan prioritas. Gue sangat takut pasangan gue gak setia sama gue, orang gue pacaran aja udah dikhianatin berkali-kali, ini lagi pas menikah. Masalahnya nanti kalo nikah gue gabisa tiba-tiba ajukan cerai kan, karena pertimbangannya gak cuma cinta aja, tapi keluarga dan anak (kalau udah punya). Kalo pacaran kan kalo selingkuh yaudah separah-parahnya putus, tapi kalo menikah mau kabur ke mana? Lo udah stuck sama orang yang sama seumur hidup lo, mau dia jelek mau dia bagus ya telen aja. Bodoh sih memang, tapi gue anti perceraian (pandangan ini bisa jadi berubah di masa depan, tapi setidaknya untuk saat ini gue sangat anti perceraian). Gue gak siap. Gue takut. Gue takut pernikahan gue gak sesuai dengan idealisme gue tentang pernikahan. Ya, jalanin aja Tash? Gak bisa gitu sih menurut gue.
Gue dinasihatin sama seorang teman sekaligus kakak, bahwa pernikahan itu baiknya dipertimbangkan matang-matang dan menikahlah ketika KAMU ingin menikah, bukan karena faktor eksternal. Karena kehidupan pernikahan itu tidak seindah yang dibayangkan (ya, ini gue sudah tau banget. Ini juga yang bikin gue anti nikah cepat), dan kita gabisa kabur kalo udah nikah. Ya mau gimana lagi? Katanya lagi, kebahagiaan itu ditentukan oleh diri sendiri bukan oleh orang lain. Jadi jangan ikut-ikutan ingin menikah hanya karena orang lain anggap itu menyenangkan. Intinya, jangan terpengaruh dari pihak luar.
Omong-omong masalah kebahagiaan, gue juga heran sih kenapa orang-orang itu hanya berpikir gampangnya aja tentang pernikahan. Dianggapnya kalo menikah itu pasti bahagia apa? Banyak masalah tau. Justru karena hidup ke depannya makin berat, maka harus dihadapi berdua. Tapi gak menutup kemungkinan kalo pasangan kita sendiri yang bikin masalah hidup tambah berat kan? Intinya, menikah itu gak indah. Capek. Berat. Lo harus menyatukan dua kepala untuk menghadapi 1 kehidupan yang sama. Plis, jangan mikir pernikahan sebagai jalan kabur dari masalah hidup lo sekarang karena pernikahan sendiri merupakan sebuah masalah baru!
Pertimbangan pernikahan ini menurut gue banyak banget, bisa dari segi kesiapan mental dan materi diri kita sendiri dan pasangan, keluarga, pekerjaan, dan lain-lain. Nanti kalo udah nikah, lo mau punya anak kapan? Kerjaan gimana? Perlu pindah atau berhenti kerja? Keluarga setuju gak? Lo dan pasangan udah siap? Mau makan apa? Mau kasih makan anak apa? Wah banyak banget deh. Bahkan KB aja menurut gue harus dipikirkan loh dari awal. Seribet itu.
Setelah gue nulis panjang lebar, sebenarnya gue pun akhirnya memahami apa sumber ketakutan gue selama ini: Gue belum siap menikah. Ya, dan gue akan menikah ketika gue siap, bahkan jika gue gak siap terus gue gak akan menikah karena pernikahan bukanlah suatu tahap kehidupan yang wajib dilalui semua orang. Gue gak pernah menganggap pernikahan sebagai sesuatu yang wajib karena jika iya, akhirnya akan hanya menjadi penggugur kewajiban saja. Gue ingin gue menikah karena gue sudah paham dengan risiko dan esensi dari pernikahan itu sendiri, bukan karena memang orang harus menikah.